Rempah
Entah sejak kapan, aku tertarik dengan rempah-rempahan. Apalagi kalau bersatu di makanan. Rakusnya jadi kelihatan.
Tumbuh dengan makanan ala kadarnya, membuatku tidak aware dengan rasa. Apalagi melatih taste bud membedakan yang mana ini atau yang mana itu. Paling-paling mengenali rasa kecap manis aja. Kalau gada kecap manis, enggak enak. Nah, lo... Darimana itu asalnya? Yang kenal papaku, pasti tau. Hahaha
Awal mula berkenalan dengan rasa, ketika aku di Filipina. (Telat banget, ya.) Bergaul dengan teman-teman yang berasal dari segala macam bangsa, memelekkan mataku bahwa ada berjuta kemungkinan rasa dalam setiap hidangan. Plus, banyak rempah dan bumbu yang tak kusangka bisa membangunkan the sleeping taste bud di lidahku. Masakan Filipina yang berputar di sekitar asam, masakan Thailand yang berpendar di sekitar gurih dan amis karena fish sauce nya, masakan India yang menari bersama ketumbar dan jintan nya, Vanuatu yang bergerak seirama dengan macam-macam karbohidratnya, Vietnam yang berwarna-warni dengan kesegaran sayurannya, ah...
Perjalanan kulinerku dimulai saat itu.
In the End of Day
Senin, 03 Juli 2017
Kamis, 15 Mei 2014
It's Me
What can I define myself? A mother? A writer? An editor?
Being a mother is something that I dreamed of. A writer is something that I like to be. An editor? Hmm.... to be honest, it is not something that I can be proud of. I am not good at it. Yes, I admit it. Tough I try hard to learn to be one.
Being an editor was not my dream at all! Spending a lot of time in front of my laptop, reading someone's mind, correcting their language and grammar... that is sooo not me!
Yet, here I am.
The journey has been up and down. Sometimes it was fun, sometimes it was just a job. Sometimes, it was just b o r i n g.
But I have someone to lean on. Someone bigger than I am. I never understand his ways, yet I can always trust him to refresh me.
I did (and do) try to learn more; cooking, writing, bringing up children, and planning.(I think, the last one is what I am worst at) In the middle of pushing harder, I got stuck. It happend again and again, leaving me with pieces that I have to pick up. Life must go on. I have to try again. And again...with him who always walks beside me.
Being a mother is something that I dreamed of. A writer is something that I like to be. An editor? Hmm.... to be honest, it is not something that I can be proud of. I am not good at it. Yes, I admit it. Tough I try hard to learn to be one.
Being an editor was not my dream at all! Spending a lot of time in front of my laptop, reading someone's mind, correcting their language and grammar... that is sooo not me!
Yet, here I am.
The journey has been up and down. Sometimes it was fun, sometimes it was just a job. Sometimes, it was just b o r i n g.
But I have someone to lean on. Someone bigger than I am. I never understand his ways, yet I can always trust him to refresh me.
I did (and do) try to learn more; cooking, writing, bringing up children, and planning.(I think, the last one is what I am worst at) In the middle of pushing harder, I got stuck. It happend again and again, leaving me with pieces that I have to pick up. Life must go on. I have to try again. And again...with him who always walks beside me.
Kamis, 27 Maret 2014
Kehadiran Anak Kedua
Saat ini aku sedang membuat kata-kata pengantar untuk Teen Eagle edisi bulan Juni 2014. Tema yang diangkat oleh edisi ini adalah "Siapakah yang Harus Kudengarkan?" Merenungkan apa yang harus kutulis, pikiranku melayang kembali kepada nasehat-nasehat yang pernah kuterima dari teman-temanku saat aku sedang mengandung Joey. "Kamu harus mulai menjauhkan Roy dari dirimu. Mulai suruh dia tidur sendiri. Jangan apa-apa sama kamu. Nanti waktu bayimu lahir, repotmu akan dua kali lipat," kata mereka. Well, memiliki anak kedua adalah hal yang baru saat itu. Karena nasehat-nasehat itu kudapat dari temanku yang sudah mempunyai anak kedua, kuanggap nasehat itu baik adanya. Mulailah aku memasang strategi. Aku mulai menjauhkan Roy, menyuruhnya melakukan apa-apa sendiri, dan mulai menahan diri dari peluk-peluk dan cium-cium yang berlebihan untuknya. Aku tidak ingat apakah aku sempat melakukannya untuk waktu yang lebih lama dari satu minggu. Mungkin saja. Namun yang kuingat, Roy tidak protes.
Usia kandungan yang mulai masuk ke trimester kedua membuatku harus 'menghadap' dokter kandungan. Karena ISOT (IGSL now) memiliki kerjasama dengan St. Luke Hospital, aku dan suamiku pergi ke sana. Bersama Roy, tentu saja. Setelah cek ini dan itu, menasehati ini dan itu, sang doktora (panggilan dokter perempuan di Filipina) mengatakan kepadaku, "Ibu harus berhati-hati dengan anak ibu yang pertama. Anak kucing tahu ketika ibunya mengandung lagi. Apalagi anak ibu. Jangan sampai dia menganggap anak kedua adalah saingannya. Jangan sampai dia merasa bahwa ibu menyingkirkannya karena sudah ada anak lagi. Dia harus merasa bahwa adiknya adalah hadiah baginya. Buat dia lebih dekat dengan ibu daripada biasanya. Buat dia merasa lebih disayang dari biasanya. Kalau tidak, dia bisa cemburu dan sesudah adiknya lahir, dia bisa melukai adiknya."
Betapa aku bersyukur sampai saat ini akan nasehat itu. Aku berhenti menjauhkan diri dan mulai lebih menunjukkan rasa sayang ke Roy, lebih banyak peluk-peluk dan cium-cium, lebih banyak cerita-cerita dan tertawa dengan dia. Dan kalau kuingat, anak pertama salah satu teman yang memberiku nasehat itu menarik jatuh adiknya yang baru berumur sebulan dari tempat tidur. Well, ternyata... Sedangkan Roy, dia tidak pernah sekalipun menunjukkan tindakan atau gelagat cemburu. Sejak adiknya lahir, dia selalu menjagai dan membantu Joey, bahkan sampai saat ini walau tentu saja mereka pernah bertengkar selayaknya kakak dan adik.
Aku pernah membaca sekilas tentang saudara kandung dan kecemburuan anak yang lahir terlebih dahulu ini. Salah satu penulis mengatakan bahwa kehadiran anak kedua bagi anak sulung bisa diumpamakan seperti seorang madu bagi istri pertama. Karena itu kita enggak bisa sembarangan mengalihkan perhatian kepada anak kedua di saat ada anak pertama. Hal ini berlaku juga setelah kelahiran.
Tuhan menetapkan langkah-langkah orang yang berkenan kepada-Nya. Siapa yang mengira dari mulut dokter kandungan keluar nasehat tentang parenting? Kusaksikan langkah hidupku yang ditentukan oleh-Nya, bukan oleh kekuatan manusia semata.Ada tangan yang menopang langkahku, mengarahkan, dan membawaku ke tempat-tempat yang 'berumput hijau.'
Usia kandungan yang mulai masuk ke trimester kedua membuatku harus 'menghadap' dokter kandungan. Karena ISOT (IGSL now) memiliki kerjasama dengan St. Luke Hospital, aku dan suamiku pergi ke sana. Bersama Roy, tentu saja. Setelah cek ini dan itu, menasehati ini dan itu, sang doktora (panggilan dokter perempuan di Filipina) mengatakan kepadaku, "Ibu harus berhati-hati dengan anak ibu yang pertama. Anak kucing tahu ketika ibunya mengandung lagi. Apalagi anak ibu. Jangan sampai dia menganggap anak kedua adalah saingannya. Jangan sampai dia merasa bahwa ibu menyingkirkannya karena sudah ada anak lagi. Dia harus merasa bahwa adiknya adalah hadiah baginya. Buat dia lebih dekat dengan ibu daripada biasanya. Buat dia merasa lebih disayang dari biasanya. Kalau tidak, dia bisa cemburu dan sesudah adiknya lahir, dia bisa melukai adiknya."
Betapa aku bersyukur sampai saat ini akan nasehat itu. Aku berhenti menjauhkan diri dan mulai lebih menunjukkan rasa sayang ke Roy, lebih banyak peluk-peluk dan cium-cium, lebih banyak cerita-cerita dan tertawa dengan dia. Dan kalau kuingat, anak pertama salah satu teman yang memberiku nasehat itu menarik jatuh adiknya yang baru berumur sebulan dari tempat tidur. Well, ternyata... Sedangkan Roy, dia tidak pernah sekalipun menunjukkan tindakan atau gelagat cemburu. Sejak adiknya lahir, dia selalu menjagai dan membantu Joey, bahkan sampai saat ini walau tentu saja mereka pernah bertengkar selayaknya kakak dan adik.
Aku pernah membaca sekilas tentang saudara kandung dan kecemburuan anak yang lahir terlebih dahulu ini. Salah satu penulis mengatakan bahwa kehadiran anak kedua bagi anak sulung bisa diumpamakan seperti seorang madu bagi istri pertama. Karena itu kita enggak bisa sembarangan mengalihkan perhatian kepada anak kedua di saat ada anak pertama. Hal ini berlaku juga setelah kelahiran.
Tuhan menetapkan langkah-langkah orang yang berkenan kepada-Nya. Siapa yang mengira dari mulut dokter kandungan keluar nasehat tentang parenting? Kusaksikan langkah hidupku yang ditentukan oleh-Nya, bukan oleh kekuatan manusia semata.Ada tangan yang menopang langkahku, mengarahkan, dan membawaku ke tempat-tempat yang 'berumput hijau.'
Senin, 17 Februari 2014
Creepy Crawlies
Warning.
Enggak semua menyukai hal ini. Kebanyakan perempuan. Dan beberapa laki-laki. Yang terakhir? Mengherankan.
This is how Roy came to love them.
Sewaktu dulu tinggal di ISOT (sekarang IGSL), Roy punya teman yang suka sekali dengan binatang. Dia adalah Arga (I won't forget you, boy). Putra satu-satunya dari pak Stevanus. (Ah, how I miss his family!)
Karena banyaknya rumput yang tinggi, belalangpun banyak. Roy diajaknya menangkap belalang. Setiap kali dia bertemu, digandengnya Roy, dan diajaknya menangkap belalang. Terkadang dia pulang dengan plastik dengan beberapa belalang di dalamnya. Sejak itu Roy suka. Dan karena dia suka dengan yang namanya hewan-hewan kecil itu, Joey pun suka. Thank's Arga, you opened his eyes to see how wonderful this world is!
(Aku masih ingat betapa inginnya kamu punya burung kecil milik bu Boedhy itu, dik. Yang akhirnya kau dapatkan walau hari sudah malam)
Ada beberapa orang yang memandang anak-anakku dengan rasa jijik ketika mereka menangkap cicak, serangga, atau binatang yang merayap lainnya. Aku sih senyum-senyum aja.
Who am I to control what's in their mind?
Yang penting apa yang mereka lakukan bukanlah dosa.
Justru aku bangga dengan mereka.
Di saat anak-anak yang lainnya lari ketakutan (anak lelaki juga!), mereka datang menghampiri. Dengan tangan mereka yang masih mungil, mereka lincah menangkap apapun itu yang menyebabkan teman-teman mereka berteriak-teriak. Sekali lagi, aku bangga.
Aku bangga sewaktu mereka menceritakan bagaimana laba-laba membuat jaring. Mereka mengamati dari dekat juga bagaimana cara laba-laba memangsa makanannya. Bukan apa kata buku, tapi karena mereka melihat dan akhirnya tahu.
Aku bangga waktu mereka mengambil larva lalat dari makanan yang sengaja ditinggalkan membusuk. "Lucu," kata mereka.
Aku bangga sewaktu mereka tahu berbagai jenis hewan dan bagaimana sifat-sifat binatang itu.
Aku bangga karena aku tidak mengekang keingintahuan mereka akan dunia yang Tuhan ciptakan ini. Aku bahkan memanggil mereka ketika ada katak albino yang bersembunyi di antara dedaunan. Juga ketika ada semut hijau bersayap berbaris di depanku. Atau ketika ada anak belalang sembah yang tak lebih besar dari semut hitam di antara tanamanku. Bagaimanapun, bintang-binatang itu menceritakan kehebatan Tuhan. Apa hakku menghentikan anak-anakku dari mengagumi Dia?
Justru aku mendorong mereka untuk melakukannya. Daripada di rumah dan main tablet, aku lebih suka anakku menggali tanah dan menemukan katak yang sedang bersembunyi (yang walaupun diletakkan di mangkukku dan membuatku rasanya kena serangan jantung). Atau anak-anak tikus yang baru saja dilahirkan (yang membuatku merinding dari ujung kepala sampai ujung kaki). Atau semut-semut yang sedang kebingungan dengan telur-telur yang baru saja ditetaskan oleh ratu mereka (yang membuatku terharu).
Ada kalanya aku ingin menghentikan mereka. Tampak aneh sendiri, sih! Tapi, bahkan Salomo pun berjongkok dan mengamati para semut. Juga berjalan di antara tanaman dan mengamati belalang. Bukankah salah satu cara memperoleh hikmat adalah melalui mereka-mereka ini?
Suatu kali, kami memelihara 4 anak ayam. Roy cinta sekali pada ayam-ayam ini. Setiap kali Roy bersuara, si ayam jantan datang. Kalau Roy mulai berlari, si ayam jantan mengejar. Duh, kaya anjing aja.
Mereka dirawatnya dan dibesarkannya. Dengan bantuan teman-temanku, Roy tahu banyak hal tentang ayam. Dipeliharanya mereka, sampai bertelur dan menetas. Wah, siklus kehidupan ayam sudah dikenalnya. Kamipun merelakan ayam-ayam itu pergi, walau dengan air mata di mata Roy. Tapi, dia sudah mengenal apa arti mengasihi... tak sia-sia rasanya menahan bau ayam selama kurang lebih 6 bulan.
Joey memelihara ikan. Tak sengaja mendapatkan aquarium. Gara-gara Debby, niiih! Aku keluarkan 150 rb untuk semuanya. ( :P ). Saking senangnya, si ikan endud mati kena elusan Joey. (Sorry, Bi). But he learned the lesson well. Jenis ikan baru masuk ke aquarium. Setiap kali kotor, Joey bongkar dan sikat. Saringan yang penuh dengan bau-bauan itu juga dibersihkannya. Detail sekali. Teliti sekali. Rajin sekali. Enggak pernah dia lupa kasi makan ikan dua kali sehari. Aku mengenal sudut lain dari anakku yang belum pernah aku tahu sebelumnya. Ternyata dia care dan enggak secuek yang kukira. Tak disangka, suatu hari ada ikan-ikan kecil yang jumlahnya kurang lebih 30 bermunculan di dasar aquarium. Ikannya bertelur dan sudah menetas! Tapi karena enggak tahu cara merawatnya, yang sisa tinggal dua. Kini, jenis ikan baru kami pelihara. Kerajinan Joey tak berkurang. Senang rasanya.
Kami juga sempat memelihara kecebong, satu aquarium jumlahnya. Kami dapat telur-telurnya waktu ke kebun teh. Tak bisa dihitung. Yah, kalo mo dihitung satu-satu sih, bisa. Tapi, itu memang banyak sekali. Joey enggak percaya kalo itu adalah anak katak. Setelah bener-bener jadi katak, dia baru percaya. Nah, ada gunanya, bukan? Selain untuk memenuhi keingintahuan anak, pelajaran di sekolah jadi mudah.
Dunia ini penuh dengan hewan-hewan, baik yang "mengerikan" maupun yang mengagumkan. Pencipta mereka semua adalah Tuhan. Tak ada yang lain. Berjuta-juta jumlahnya. Bermacam-macam jenisnya. Beragam sifat dan keunikannya. Dan setiap mereka berseru kepada anak-anakku, "Betapa Tuhan itu luar biasa! Ayo, pujilah Dia!"
Enggak semua menyukai hal ini. Kebanyakan perempuan. Dan beberapa laki-laki. Yang terakhir? Mengherankan.
This is how Roy came to love them.
Sewaktu dulu tinggal di ISOT (sekarang IGSL), Roy punya teman yang suka sekali dengan binatang. Dia adalah Arga (I won't forget you, boy). Putra satu-satunya dari pak Stevanus. (Ah, how I miss his family!)
Karena banyaknya rumput yang tinggi, belalangpun banyak. Roy diajaknya menangkap belalang. Setiap kali dia bertemu, digandengnya Roy, dan diajaknya menangkap belalang. Terkadang dia pulang dengan plastik dengan beberapa belalang di dalamnya. Sejak itu Roy suka. Dan karena dia suka dengan yang namanya hewan-hewan kecil itu, Joey pun suka. Thank's Arga, you opened his eyes to see how wonderful this world is!
(Aku masih ingat betapa inginnya kamu punya burung kecil milik bu Boedhy itu, dik. Yang akhirnya kau dapatkan walau hari sudah malam)
Ada beberapa orang yang memandang anak-anakku dengan rasa jijik ketika mereka menangkap cicak, serangga, atau binatang yang merayap lainnya. Aku sih senyum-senyum aja.
Who am I to control what's in their mind?
Yang penting apa yang mereka lakukan bukanlah dosa.
Justru aku bangga dengan mereka.
Di saat anak-anak yang lainnya lari ketakutan (anak lelaki juga!), mereka datang menghampiri. Dengan tangan mereka yang masih mungil, mereka lincah menangkap apapun itu yang menyebabkan teman-teman mereka berteriak-teriak. Sekali lagi, aku bangga.
Aku bangga sewaktu mereka menceritakan bagaimana laba-laba membuat jaring. Mereka mengamati dari dekat juga bagaimana cara laba-laba memangsa makanannya. Bukan apa kata buku, tapi karena mereka melihat dan akhirnya tahu.
Aku bangga waktu mereka mengambil larva lalat dari makanan yang sengaja ditinggalkan membusuk. "Lucu," kata mereka.
Aku bangga sewaktu mereka tahu berbagai jenis hewan dan bagaimana sifat-sifat binatang itu.
Aku bangga karena aku tidak mengekang keingintahuan mereka akan dunia yang Tuhan ciptakan ini. Aku bahkan memanggil mereka ketika ada katak albino yang bersembunyi di antara dedaunan. Juga ketika ada semut hijau bersayap berbaris di depanku. Atau ketika ada anak belalang sembah yang tak lebih besar dari semut hitam di antara tanamanku. Bagaimanapun, bintang-binatang itu menceritakan kehebatan Tuhan. Apa hakku menghentikan anak-anakku dari mengagumi Dia?
Justru aku mendorong mereka untuk melakukannya. Daripada di rumah dan main tablet, aku lebih suka anakku menggali tanah dan menemukan katak yang sedang bersembunyi (yang walaupun diletakkan di mangkukku dan membuatku rasanya kena serangan jantung). Atau anak-anak tikus yang baru saja dilahirkan (yang membuatku merinding dari ujung kepala sampai ujung kaki). Atau semut-semut yang sedang kebingungan dengan telur-telur yang baru saja ditetaskan oleh ratu mereka (yang membuatku terharu).
Ada kalanya aku ingin menghentikan mereka. Tampak aneh sendiri, sih! Tapi, bahkan Salomo pun berjongkok dan mengamati para semut. Juga berjalan di antara tanaman dan mengamati belalang. Bukankah salah satu cara memperoleh hikmat adalah melalui mereka-mereka ini?
Suatu kali, kami memelihara 4 anak ayam. Roy cinta sekali pada ayam-ayam ini. Setiap kali Roy bersuara, si ayam jantan datang. Kalau Roy mulai berlari, si ayam jantan mengejar. Duh, kaya anjing aja.
Mereka dirawatnya dan dibesarkannya. Dengan bantuan teman-temanku, Roy tahu banyak hal tentang ayam. Dipeliharanya mereka, sampai bertelur dan menetas. Wah, siklus kehidupan ayam sudah dikenalnya. Kamipun merelakan ayam-ayam itu pergi, walau dengan air mata di mata Roy. Tapi, dia sudah mengenal apa arti mengasihi... tak sia-sia rasanya menahan bau ayam selama kurang lebih 6 bulan.
Joey memelihara ikan. Tak sengaja mendapatkan aquarium. Gara-gara Debby, niiih! Aku keluarkan 150 rb untuk semuanya. ( :P ). Saking senangnya, si ikan endud mati kena elusan Joey. (Sorry, Bi). But he learned the lesson well. Jenis ikan baru masuk ke aquarium. Setiap kali kotor, Joey bongkar dan sikat. Saringan yang penuh dengan bau-bauan itu juga dibersihkannya. Detail sekali. Teliti sekali. Rajin sekali. Enggak pernah dia lupa kasi makan ikan dua kali sehari. Aku mengenal sudut lain dari anakku yang belum pernah aku tahu sebelumnya. Ternyata dia care dan enggak secuek yang kukira. Tak disangka, suatu hari ada ikan-ikan kecil yang jumlahnya kurang lebih 30 bermunculan di dasar aquarium. Ikannya bertelur dan sudah menetas! Tapi karena enggak tahu cara merawatnya, yang sisa tinggal dua. Kini, jenis ikan baru kami pelihara. Kerajinan Joey tak berkurang. Senang rasanya.
Kami juga sempat memelihara kecebong, satu aquarium jumlahnya. Kami dapat telur-telurnya waktu ke kebun teh. Tak bisa dihitung. Yah, kalo mo dihitung satu-satu sih, bisa. Tapi, itu memang banyak sekali. Joey enggak percaya kalo itu adalah anak katak. Setelah bener-bener jadi katak, dia baru percaya. Nah, ada gunanya, bukan? Selain untuk memenuhi keingintahuan anak, pelajaran di sekolah jadi mudah.
Dunia ini penuh dengan hewan-hewan, baik yang "mengerikan" maupun yang mengagumkan. Pencipta mereka semua adalah Tuhan. Tak ada yang lain. Berjuta-juta jumlahnya. Bermacam-macam jenisnya. Beragam sifat dan keunikannya. Dan setiap mereka berseru kepada anak-anakku, "Betapa Tuhan itu luar biasa! Ayo, pujilah Dia!"
Parenting
I am fascinated by this word. Parenting.
Bukannya aku udah ahli. Blah. Ahli apanya? Wong anak-anakku aja baru berumur 11 dan 8.
Kalo dibandingkan dengan mereka yang udah punya anak remaja, aku kalah jauh. Tapi, aku suka berbagi. Bukan untuk menggurui, hanya membagi.
Duduk 3 kali di kelas Christian Motherhood sewaktu di Filipina membuat mataku terbuka akan adanya dunia yang penuh warna. Aku sendiri merasa hidupku hanyalah melulu hitam dan putih. Atau abu-abu. Itu saja. Sejak aku punya Roy, aku sadar bahwa dunia ini lebih dari sekedar itu. Tapi aku hanya berani mengintip, mengingini, tapi tak tahu bagaimana cara mendapatkannya.
Kalau mengingat masa kecilku, terkadang aku ingin melupakannya. Aku merasa bahwa masa SD- SMP- atau SMA adalah masa yang lembarannya kututup. Hari-hari lebih banyak kulewati bersama buku-buku detektifku ketimbang dengan hal-hal yang lainnya. Entah mengapa. Masih misteri. Atau mungkin karena itulah aku. Tapi aku merasa ada hal-hal lain yang mendorongku melakukannya. Entahlah.
Namun sejak aku ke Filipina dan bertemu dengan mereka yang bisa mengasihi dengan tulus dan merangkulku tanpa ragu, pelan-pelan aku membuka diri. Aku jadi lebih berani berbicara dan mengingini lebih banyak.
Lebih banyak warna.
Walau kadang masih ragu-ragu meraihnya.
Namun aku sadar, sudah ada warna primer yang kukenal. Tinggal mencampurnya saja.
Salah satunya adalah parenting.
*it's not about parenting, eh? It's more about me.
whatever. :P
Bukannya aku udah ahli. Blah. Ahli apanya? Wong anak-anakku aja baru berumur 11 dan 8.
Kalo dibandingkan dengan mereka yang udah punya anak remaja, aku kalah jauh. Tapi, aku suka berbagi. Bukan untuk menggurui, hanya membagi.
Duduk 3 kali di kelas Christian Motherhood sewaktu di Filipina membuat mataku terbuka akan adanya dunia yang penuh warna. Aku sendiri merasa hidupku hanyalah melulu hitam dan putih. Atau abu-abu. Itu saja. Sejak aku punya Roy, aku sadar bahwa dunia ini lebih dari sekedar itu. Tapi aku hanya berani mengintip, mengingini, tapi tak tahu bagaimana cara mendapatkannya.
Kalau mengingat masa kecilku, terkadang aku ingin melupakannya. Aku merasa bahwa masa SD- SMP- atau SMA adalah masa yang lembarannya kututup. Hari-hari lebih banyak kulewati bersama buku-buku detektifku ketimbang dengan hal-hal yang lainnya. Entah mengapa. Masih misteri. Atau mungkin karena itulah aku. Tapi aku merasa ada hal-hal lain yang mendorongku melakukannya. Entahlah.
Namun sejak aku ke Filipina dan bertemu dengan mereka yang bisa mengasihi dengan tulus dan merangkulku tanpa ragu, pelan-pelan aku membuka diri. Aku jadi lebih berani berbicara dan mengingini lebih banyak.
Lebih banyak warna.
Walau kadang masih ragu-ragu meraihnya.
Namun aku sadar, sudah ada warna primer yang kukenal. Tinggal mencampurnya saja.
Salah satunya adalah parenting.
*it's not about parenting, eh? It's more about me.
whatever. :P
Senin, 10 Februari 2014
2 Hal Saja
Really. Be serious this time.
Just 2 things He wants. Love Him and your neighbors. What's so hard about it?
It is, when your love is somewhere else.
Beberapa tahun yang lalu saat aku ada di negeri berbahasa Taglish, aku membaca buku ini. Aku sudah tak ingat lagi judul bukunya. Bukan buku teologi. Bukan juga sebuah panduan wisata. Hanya sebuah novel.
"Manusia diciptakan bukan untuk mencintai benda. Manusia diciptakan-Nya untuk mencintai manusia lain."
Booom! Keras sekali kalimat itu menghantamku.
Dia berbicara padaku! Kalimat itu menempel kuat. Kuat sekali. Bak lem Alteco.
Alteco itu tak pernah lepas. Terkadang ingin kucabut dan melihat-lihat apa yang terlewatkan dari dunia yang selalu berputar, tapi tak pernah bisa.
dan Boom! Dia menambahkan satu lagi... Mengasihi Tuhan adalah tugas tertinggi.
Belum juga bisa mengasihi tetangga yang selalu memutar cassette player-nya dengan volume setinggi tiang bendera, aku diberi tugas satu lagi.
Karena menempel bak kacamata yang harus kubawa kemana-mana, itu juga yang kukatakan pada anak-anakku. Berkali-kali. Terutama saat mereka berebut sesuatu. Benda. Yang juga berkali-kali.
Dan malam tadi aku menggunakan hot air baloon sebagai ilustrasi penjelasannya. (Dasar penulis renungan!) Supaya anak-anakku mengerti.
Hot air baloon menggunakan udara panas untuk menggembungkan sang parasut. Mengasihi Tuhan dan sesama hanyalah syarat satu-satunya (atau dua-duanya?) supaya balon kita bisa membesar dan naik.
Mengasihi benda? Hanyalah berfungsi sebagai pemberat! Tak usahlah kita bahas yang satu ini tolong (dibaca dengan logat Betawi, ya...) Mengasihi benda hanya akan bekerja sama dengan gravitasi bumi dan harus dibuang kalau ingin bisa terbang. Nah, loe!
Mengasihi sesama akan menggembungkan
Mengasihi Tuhan akan menerbangkan (Ingat sifat udara panas?)
Benar dugaanku. Tuhan itu bener-bener, deh. Dia menggunakan alam (dan sifat-sifatnya) untuk mengajari kita. Kali ini melalui sifat udara panas.
Tak perlu udara panas untuk menggembungkan. Cukup udara biasa. Mengasihi sesama akan menggembungkan kita. Tak heran, seseorang yang baik hati populer. Dia menggembung. Membesar di hadapan orang lain. Tampak jelas di antara para kerumunan. Bagaikan lampu merah yang menyala di setopan, mahluk semacam ini menghentikan laju lalu lalang manusia, dikagumi, dipuji, dipeluk, tak jarang ditangisi.
Namun tanpa kasih kepada Tuhan, dia hanyalah lampu merah yang akan padam dan digantikan oleh lampu hijau. Pasti menyala lagi, namun akan mati lagi. Menyala lagi, lalu mati lagi. Diingat, lalu dilupakan. Oleh sesamanya.
Kasih akan Tuhan bagaikan panasnya api yang menegakkan si balon. Itu juga yang akan menerbangkan dia. Tinggi. Dan memang itu adalah tujuannya.
Dikagumi? Iya. Dipuji? Pasti. Namun bukan dia yang pada akhirnya terlihat. Ketika terbang makin tinggi, tak tampak lagi penumpangnya. Hanya keindahan parasut dan kekuatan api.
Mau tak mau, penonton harus mengakui bahwa kemampuan itu asalnya dari sang sumber energi panas. Kekuatan itu tak terlihat, namun bisa dibuktikan.
Kekuatan api itu lebih besar dari si penumpang...membawanya naik lebih tinggi...menembus lapisan-lapisan awan...memisahkan dia dari para pengagum dan bumi... menyaksikan bentangan tak berujung di hadapan matanya.
Di sana, tak terdengar lagi tepukan tangan penonton
Tak terlihat lagi bumi
Hanya suara gas dan warna merahnya api
Hanya langit biru yang terpampang
Hanya ada dia dan Pencipta-Nya
Berhadapan muka...
Picture:
http://littlebigwonders.blogspot.com/2013/05/step36-love-god-love-his-people.html
http://www.forwallpaper.com/wallpaper/hot-air-balloons-67063.html
Just 2 things He wants. Love Him and your neighbors. What's so hard about it?
It is, when your love is somewhere else.
Beberapa tahun yang lalu saat aku ada di negeri berbahasa Taglish, aku membaca buku ini. Aku sudah tak ingat lagi judul bukunya. Bukan buku teologi. Bukan juga sebuah panduan wisata. Hanya sebuah novel.
"Manusia diciptakan bukan untuk mencintai benda. Manusia diciptakan-Nya untuk mencintai manusia lain."
Booom! Keras sekali kalimat itu menghantamku.
Dia berbicara padaku! Kalimat itu menempel kuat. Kuat sekali. Bak lem Alteco.
Alteco itu tak pernah lepas. Terkadang ingin kucabut dan melihat-lihat apa yang terlewatkan dari dunia yang selalu berputar, tapi tak pernah bisa.
dan Boom! Dia menambahkan satu lagi... Mengasihi Tuhan adalah tugas tertinggi.
Belum juga bisa mengasihi tetangga yang selalu memutar cassette player-nya dengan volume setinggi tiang bendera, aku diberi tugas satu lagi.
Karena menempel bak kacamata yang harus kubawa kemana-mana, itu juga yang kukatakan pada anak-anakku. Berkali-kali. Terutama saat mereka berebut sesuatu. Benda. Yang juga berkali-kali.

Hot air baloon menggunakan udara panas untuk menggembungkan sang parasut. Mengasihi Tuhan dan sesama hanyalah syarat satu-satunya (atau dua-duanya?) supaya balon kita bisa membesar dan naik.
Mengasihi benda? Hanyalah berfungsi sebagai pemberat! Tak usahlah kita bahas yang satu ini tolong (dibaca dengan logat Betawi, ya...) Mengasihi benda hanya akan bekerja sama dengan gravitasi bumi dan harus dibuang kalau ingin bisa terbang. Nah, loe!
Mengasihi sesama akan menggembungkan
Mengasihi Tuhan akan menerbangkan (Ingat sifat udara panas?)
Benar dugaanku. Tuhan itu bener-bener, deh. Dia menggunakan alam (dan sifat-sifatnya) untuk mengajari kita. Kali ini melalui sifat udara panas.
Tak perlu udara panas untuk menggembungkan. Cukup udara biasa. Mengasihi sesama akan menggembungkan kita. Tak heran, seseorang yang baik hati populer. Dia menggembung. Membesar di hadapan orang lain. Tampak jelas di antara para kerumunan. Bagaikan lampu merah yang menyala di setopan, mahluk semacam ini menghentikan laju lalu lalang manusia, dikagumi, dipuji, dipeluk, tak jarang ditangisi.
Namun tanpa kasih kepada Tuhan, dia hanyalah lampu merah yang akan padam dan digantikan oleh lampu hijau. Pasti menyala lagi, namun akan mati lagi. Menyala lagi, lalu mati lagi. Diingat, lalu dilupakan. Oleh sesamanya.
Kasih akan Tuhan bagaikan panasnya api yang menegakkan si balon. Itu juga yang akan menerbangkan dia. Tinggi. Dan memang itu adalah tujuannya.
Dikagumi? Iya. Dipuji? Pasti. Namun bukan dia yang pada akhirnya terlihat. Ketika terbang makin tinggi, tak tampak lagi penumpangnya. Hanya keindahan parasut dan kekuatan api.
Mau tak mau, penonton harus mengakui bahwa kemampuan itu asalnya dari sang sumber energi panas. Kekuatan itu tak terlihat, namun bisa dibuktikan.
Kekuatan api itu lebih besar dari si penumpang...membawanya naik lebih tinggi...menembus lapisan-lapisan awan...memisahkan dia dari para pengagum dan bumi... menyaksikan bentangan tak berujung di hadapan matanya.
Di sana, tak terdengar lagi tepukan tangan penonton
Tak terlihat lagi bumi
Hanya suara gas dan warna merahnya api
Hanya langit biru yang terpampang
Hanya ada dia dan Pencipta-Nya
Berhadapan muka...
Picture:
http://littlebigwonders.blogspot.com/2013/05/step36-love-god-love-his-people.html
http://www.forwallpaper.com/wallpaper/hot-air-balloons-67063.html
Alien
Warning: It is soooo extream. Read with precaution.
Hari ini, sekali lagi aku menekankan kepada anak-anakku. "Kita ini hanyalah alien."
Well, aku harus berbicara kepada mereka dengan bahasa yang mereka mengerti, tentu saja.
Mereka tahu apa itu alien. Mahluk luar angkasa, mahluk yang bukan berasal dari bumi. Yes, they do know it.
Daud juga tahu akan hal itu. "Aku ini orang asing di dunia...," Mazmur 119:19. Juga yang lainnya, "...bahwa mereka adalah orang asing dan pendatang di bumi ini," Ibrani 11:13c.
Aku juga ingin anak-anakku tahu bahwa mereka juga sama dengan aku, sama-sama bukan penghuni di bumi ini. Suatu hari, kami akan kembali ke rumah kami.
Sama seperti alien yang ada dalam cerita-cerita mereka, kami berbeda dari penghuni dan penduduk asli.
Cara kami berpikir berbeda. Cara kami bertindak berbeda. Cara kami makan berbeda. Cara kami beribadah juga berbeda. Belum ahli, sih... tapi sedang menuju ke sana. Bagaimanapun, setelah dibesarkan di bumi, mau tak mau dia meninggalkan jejaknya dalam kami. Tak jarang jejaknya begitu dalam dan lebar. Juga keras. Terkadang tak terlihat, terkadang terlihat dengan sejelas-jelasnya. Ampun, deh.
Inilah aku dan keluargaku. Yep, suamiku juga alien. Dia lebih dahulu menjadi alien sebelum kami. Menyenangkan memiliki dia. Seringkali dia mengingatkan kami akan adanya bahaya yang tak terlihat, menunjukkan gua-gua gelap berisikan jebakan, membantu kami mengerti siapa musuh yang berusaha mengalihkan perhatian kami. Dia terlebih dahulu berjalan di jalan-jalan itu. Dengan lentera di tangannya, dia memperingati kami akan adanya sudut-sudut gelap yang harus dihindari, memperlihatkan jalan terjal tak terlihat yang harus dilewati, menggandeng tangan kami, dan menyayangi kami.
Kami keluarga alien. Maaf jika kaget. Tak bermaksud seperti itu...
Hari ini, sekali lagi aku menekankan kepada anak-anakku. "Kita ini hanyalah alien."
Well, aku harus berbicara kepada mereka dengan bahasa yang mereka mengerti, tentu saja.
Mereka tahu apa itu alien. Mahluk luar angkasa, mahluk yang bukan berasal dari bumi. Yes, they do know it.
Daud juga tahu akan hal itu. "Aku ini orang asing di dunia...," Mazmur 119:19. Juga yang lainnya, "...bahwa mereka adalah orang asing dan pendatang di bumi ini," Ibrani 11:13c.
Aku juga ingin anak-anakku tahu bahwa mereka juga sama dengan aku, sama-sama bukan penghuni di bumi ini. Suatu hari, kami akan kembali ke rumah kami.
Sama seperti alien yang ada dalam cerita-cerita mereka, kami berbeda dari penghuni dan penduduk asli.
Cara kami berpikir berbeda. Cara kami bertindak berbeda. Cara kami makan berbeda. Cara kami beribadah juga berbeda. Belum ahli, sih... tapi sedang menuju ke sana. Bagaimanapun, setelah dibesarkan di bumi, mau tak mau dia meninggalkan jejaknya dalam kami. Tak jarang jejaknya begitu dalam dan lebar. Juga keras. Terkadang tak terlihat, terkadang terlihat dengan sejelas-jelasnya. Ampun, deh.
Inilah aku dan keluargaku. Yep, suamiku juga alien. Dia lebih dahulu menjadi alien sebelum kami. Menyenangkan memiliki dia. Seringkali dia mengingatkan kami akan adanya bahaya yang tak terlihat, menunjukkan gua-gua gelap berisikan jebakan, membantu kami mengerti siapa musuh yang berusaha mengalihkan perhatian kami. Dia terlebih dahulu berjalan di jalan-jalan itu. Dengan lentera di tangannya, dia memperingati kami akan adanya sudut-sudut gelap yang harus dihindari, memperlihatkan jalan terjal tak terlihat yang harus dilewati, menggandeng tangan kami, dan menyayangi kami.
Kami keluarga alien. Maaf jika kaget. Tak bermaksud seperti itu...
Langganan:
Postingan (Atom)